Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Sulit untuk memiliki rasa sayang kepada sesuatu atau seseorang, jika kita tidak mengenalnya. Makanya, kita memiliki frase ”tak kenal, maka tak sayang.” Dalam konteks tradisional, peribahasa itu benar adanya. Pendek kata, kenal atau tidaknya kita pada sesuatu atau seseorang sangat menentukan apakah kita memiliki rasa sayang itu atau tidak. Namun demikian, ’kenal’ itu memiliki sifat netral. Artinya jika kita ’mengenal’ sesuatu atau seseorang, tidaklah serta merta kita menyayanginya. Malah sebaliknya, bisa jadi kita membencinya. Buktinya, banyak orang yang sudah bertahun-tahun bersama, kemudian berpisah hanya karena; sekarang masing-masing sudah ’mengenal’ temannya luar-dalam.
Saya, kalau dirumah paling nyaman mengenakan kaos oblong. Meskipun memiliki beberapa koleksi kaos oblong dilemari pakaian, namun kesukaan saya pada dua kaos oblong tertentu membuat kaos oblong lain jarang dipakai. Bahkan, saya nyaris hanya menggunakan kedua kaos oblong itu secara bergiliran. Jika yang satu kotor, yang satu lagi biasanya siap pakai. Hanya jika kedua kaos oblong itu kotor sajalah saya menggunakan kaos oblong lainnya. Padahal, kedua kaos oblong favorit itu sama sekali bukanlah kaos terbaik dilemari itu. Malah sebaliknya, keduanya sudah pada usang. Selain warna putihnya yang pudar menjadi kecoklatan; keduanya pun sudah menderita bolong-bolong disana-sini. Kalau mengingat asas kepantasan, mungkin sepantasnya kedua kaos oblong bolong itu tidak dikenakan lagi. Tetapi, lha kok rasa sayang saya kepada kaos itu melebihi logika ini. Walhasil, selama saya ada dirumah, kaos oblong usang itu selalu menjadi prioritas pemakaian saya.
Saya menduga bahwa kaos oblong lapuk itu menggunakan NLP untuk mempengaruhi saya. Kecurigaan saya sangat beralasan karena setiap kali mengenakan kaos itu, saya kok merasa sangat nyaman sehingga seluruh sensori kinestetik saya benar-benar termanjakan. Semakin lapuk kaos itu, semakin lembut belaiannya dibadan. Dan akibatnya, semakin sayang saya kepadanya. Berbahayakah ini? Bisa jadi. Sebab, sekalipun kaos oblong itu sudah bolong-bolong, saya memiliki keterikatan yang terlampau kuat, sehingga kalau ada tamu datang kerumah, saya harus berlari kekamar. Lalu berganti baju lain untuk sekedar menghormati tamu yang datang. Jika anda seorang Ketua RT, anda pasti tahu tamu yang dimaksud. Dan jika anda keranjingan kaos butut seperti saya, anda harus bolak balik kekamar hanya untuk sekedar berganti baju.
Lha, sekarang saya baru teringat bahwa fungsi istri saya melebihi fungsi kaos itu. Kalau saya sedang kesel sama dia, misalnya; karena dia terlalu sibuk ngelonin anak bungsu kami hingga ketiduran sampai pagi dikamar anak-anak, saya jadi ingat kaos oblong itu. Semakin lama, semakin cinta saya sama dia. Mengapa saya tidak semakin cinta juga kepada istri saya? Makanya, agak aneh jika manusia seperti kita berseteru dengan pasangan hidup dengan alasan; ’sudah tidak ada kecocokan lagi....’. Tuhan, saya memohon agar dalam hidup saya, hal semacam itu tidak terjadi. Esok lusa, tidak bisa kita tebak. Namun, dengan tekad, doa, dan usaha mungkin segalanya bisa berjalan baik-baik saja.
Lha, sekarang, saya juga menjadi ingat kepada pekerjaan saya. Ternyata, pekerjaan saya memiliki arti lebih besar dari kaos oblong itu. Kalau saya sedang sebel pada pekerjaan saya itu, maka saya segera teringat bahwa inilah pekerjaan yang sangat menentukan kualitas hidup saya. Dan juga keluarga saya. Dulu, ketika saya pertama kali memutuskan untuk mengambil pekerjaan ini, saya begitu bersemangat. Lantas, mengapa seiring berjalannya waktu saya sering merasa kesal dengan pekerjaan ini. Ketika atasan saya berlaku tidak adil, saya menyesal bekerja disini. Ketika jabatan saya tidak naik-naik, saya marah kepada pekerjaan saya ini. Ketika gaji saya masih juga pas-pasan, saya membenci pekerjaan saya. Ketika pelanggan-pelanggan saya menolak dan mempersulit, saya ingin sekali mengganti profesi ini.
Duh, seandainya pekerjaan saya ini tahu apa yang terjadi dengan kaos oblong itu, tentu dia akan iri. Rasa cinta saya kepada kaos oblong itu, semakin hari semakin bertambah. Semakin usang dia, semakin sayang saya. Semakin lama saya bersentuhan dengannya, semakin suka saya kepadanya. Dan seandainya pekerjaan saya ini bisa menangis, mungkin dia menangis karena saya telah mempelakukannya dengan tidak adil. Padahal, dari pekerjaan inilah saya bisa menafkahi keluarga. Lantas, mengapa saya tidak semakin cinta kepadanya ketika saya semakin tahu ’bolong-bolong’-nya.
Padahal, pekerjaan ini melayani saya dengan teknik NLP paling tinggi. Dia menggetarkan rasa disekujur tubuh saya ketika atasan menepuk bahu saya. Dia memanjakan pendengaran saya ketika pelanggan mengatakan:”Terimakasih atas bantuannya ya Mas....”. Dia juga menggelitik lidah saya ketika teman dikantor mengajak makan siang bersama diacara ulang tahunnya. Dia membuat mata saya berbinar-binar ketika melihat angka-angka pencapaian yang tinggi. Dia, membius saya dengan aroma wangi khas bahan-bahan parfum ruang kerja saya yang bercampur dengan debu-debu diatas kardus yang bertumpuk-tumpuk. Lebih dari itu, dia menentramkan hati saya, karena dengan pekerjaan ini; saya jadi tahu bahwa bulan depan, ada rejeki yang akan saya dapatkan. Tidak seperti mereka yang tidak memiliki pekerjaan seperti saya. Jadi, mengapa kepada pekerjaan ini saya tidak semakin sayang, ketika saya semakin mengenalnya lebih dalam?
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar