Oleh Imam Suhairi
“Pengajaran dan pendidikan adalah sarana penyebarluasan benih hidup merdeka di kalangan rakyat”.(Ki Hajar Dewantara)
Tentu statemen Ki Hajar Dewantara di atas tidak hanya bermakna temporal dan parsial, yakni sebatas menggelorakan perjuangan merebut kemerdekaan pada zaman penjajahan tempo dulu. Awalnya, anak negeri harus terbebas dari bentuk “idiot” panjang akibat penjajahan politik bangsa asing. Kini, bangsa ini telah menjadi kaum “pintar” dari berbagai bidang kehidupan.
Dalam kaca mata politik pembangunan, sekolah diharapkan dapat menelorkan banyak individu cakap dan terampil untuk kepentingan keberlanjutan pembangunan. Dalam dekade selanjutnya, sekolah-sekolah diciptakan untuk kepentingan memenuhi kebutuhan pasar kerja dan lebih ekstrim untuk mempertahankan status quo.
Fakta selanjutnya ditandai dengan kehadiran sekolah-sekolah baru berbasis pasar kerja. Sekolah dirancang untuk kepentingan pabrikan/perusahaan -perusahaan nasional dan multinasional. Para peserta didik meniscayakan dirinya untuk ikut berkompetisi memilih sekolah-sekolah yang dianggap favorit dan berpotensi ke pasar kerja. Nyatanya, sekolah telah berubah nilai orientasinya dari sekedar penanaman nilai-nilai luhur agama dan kebangsaan menjadi pabrik tenaga kerja bagi kaum kapitalis. Shirley Brice Heath menstigmakan, senyatanyalah, sekolah bukan arena objektif yang netral. Ia merupakan lembaga yang bertujuan mengubah dasar-dasar nilai, ketrampilan, dan pengetahuan manusia.
Dengan telaah kritis, kita dapat menyingkap fakta kooptasi dalam praktik pendidikan. Hal ini dapat terlihat pada aspek : sistem pendidikan yang masih kontraproduktif dengan konsep pendidikan yang membebaskan. Manajemen persekolahan yang hegemonik dan pragmatis. Lingkungan sekolah yang ikut menciptakan tatanan yang memenjara dan peran guru konvensional yang semakin mempertajam nilai-nilai pemasungan bagi anak didik.
Pengelolaan sekolah yang tidak demokratis dan pragmatis. Pengambilan keputusan oleh para pengelola/pimpinan sekolah kebanyakan cenderung tidak demokratis dan tertutup. Sekolah berjalan sesuai kemauan para pimpinan dan pengelola. Peran masyarakat melalui komite sekolah tidak banyak berarti dalam praktiknya. Sementara guru dianggap hanya sebagai pekerja dan siswa sebagai objeknya yang tidak paham apa-apa. Tak ayal, banyak tercipta kebijakan sekolah yang korup dan tidak berpihak pada masyarakat.
Gejala yang demikian akhirnya menyuburkan pragmatisme kebijakan. Nafsu untuk memperbanyak siswa dalam setiap kali tahun ajaran baru. Dengan jargon ideologi “ semakin banyak siswa, semakin besar pula bantuan pemerintah yang di dapat” telah memunculkan bentuk-bentuk korupsi baru dalam dunia pendidikan. Bantuan pemerintah yang sejatinya untuk kepentingan siswa seutuhnya bisa saja disimpangkan pada bentuk lain dan dikorup. Siswa tetap saja sebagai kalangan yang “marginal” untuk tidak menikmati akses kebijakan pemerintah yang hakikatnya sangat populis. Siswa sebagai kalangan yang tidak punya akses untuk “menagih” hak-hak mereka yang semestinya diperoleh.
Penciptaan tatatan sekolah yang hegemonik telah mengakibatkan siswa terpenjara dan benar-benar terpasung. Sekolah bisa saja menjadi perampas hak-hak mereka kapan saja. Hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, fasilitas yang memadai, pelayanan yang optimal, suasana kondusifitas dan menyenangkan semakin jauh dari kehidupan mereka. Untuk siswa yang kebetulan punya nasib hidup di kota, mungkin tidak demikian halnya. Tetapi anak-anak desa, pinggiran, atau bahkan kepulauan terpencil, jangankan fasilitas untuk pendidikan, fasilitas dasar kebutuhan hidup saja masih serba terbatas. Mereka hidup dalam dunia keterkungkungan dan ketergantungan yang panjang.
Lain hal lagi dengan sikap dan perilaku guru yang justru memuluskan jalan hegemoni bagi siswa. Siswa masih dianggap subordinat dengan guru dalam hal pengetahuan. Siswa di-image-kan sosok kosong yang harus diisi oleh pengetahuan yang telah terkonstruk rapi dan telah ditafsirkan oleh guru. siswa tidak secara “merdeka” bebas mengisi ruang kosongnya untuk ditafsirkan sendiri melalui pengetahuan awal yang dimilikinya. Siswa sebagai ruang hampa yang harus terkebiri menurut kehendak guru.
Sekolah yang semestinya menjadi alam terbuka bagi eksplorasi ilmu pengetahuan ternyata secara tidak disadari telah memenjarakan penghuninya dari pembebasan. Sekolah yang sejatinya, terdapat pelayanan maksimal terhadap peserta didik, justru jadi tempat mencari keuntungan pribadi para pengelolanya. Siswa hanya dianggap sebagai objek perahan yang menguntungkan. Saatnya kini, dunia pendidikan melakukan refleksi kritis atas dirinya untuk transformasi yang lebih membebaskan dan “merdeka”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar