Oleh Brigitta Isworo
”Penemuan” fakta di Galapagos telah memunculkan teori baru tentang asal-usul manusia. Manusia tetap gelisah dan dia pun mulai mengeksplorasi diri. Setelah muncul melalui proses evolusi lalu, ke mana manusia pergi?
Sesudah pergi, lenyapkah ia? Apakah dia bisa diabadikan, menjadi selalu ”ada”? Jika seorang manusia bisa dibuat kopiannya, banyak hal dan banyak kepentingan serta banyak manusia akan terpuaskan dan mendapat jawabnya.
Ingat film The Boys from Brazil arahan sutradara Franklin J Schaffner produksi tahun 1978? Dalam film itu dikisahkan upaya kelompok SS—sayap militer Nazi—untuk ”membuat” Hitler-Hitler baru, ada 10 anak, dengan teknik kloning yang dipadukan dengan proses pendewasaan dengan mempertimbangkan lingkungan sosio-kultur si anak.
Manusia adalah makhluk yang bertanya. Mempertanyakan apa saja, hingga yang paling hakiki adalah mempertanyakan eksistensinya. Itulah yang lalu menjadi pertanyaan awal yang mendorong percobaan para ilmuwan bioteknologi dan para ahli medis demi memuaskan rasa keingintahuan manusia.
Tujuannya, jika jawaban tentang asal-usul manusia dengan Teori Evolusi Darwin dianggap sudah ”selesai” (baca: diterima), adakah kemungkinan di masa depan untuk menghadirkan kembali makhluk-makhluk hidup—setelah manusia diperluas—yang sekarang satu demi satu spesies terancam punah? Bahkan banyak spesies sudah punah.
DNA dan kloning
Tanggal 28 Februari 1953, Francis Crick berjalan masuk ke rumah minum Eagle di Cambridge, Inggris. Seperti dikenang oleh James Watson, Crick mengumumkan, ”Kami telah menemukan rahasia kehidupan.” Memang mereka telah menemukannya.
Pagi itu, Watson dan Crick telah menemukan struktur DNA (deoxyribonucleic acid). Struktur DNA berbentuk mirip dua pita melintir (double helix) yang dapat membuka (unzip) untuk mengopi diri mereka sendiri. Itulah jawaban terhadap pertanyaan apakah DNA membawa informasi sifat-sifat yang menurun dari makhluk hidup. Ternyata diketahui, DNA sanggup membelah diri dengan membawa sifat-sifat itu.
Kemajuan bioteknologi, yang semula baru sebatas vaksin dan antibiotik yang bisa menyembuhkan penyakit, sudah ”meloncat” ke urusan menggantikan sel rusak. Potensi kloning telah membawa fajar baru bagi para penderita kanker, berpotensi ”membuat” organ baru dari sel punca, atau memudakan kembali sel-sel tubuh dengan mengatur ulang kode-kode genetik yang terkandung pada DNA.
Keinginan manusia untuk mendekati pusat pertanyaan tentang ”penciptaan” telah muncul secara publik sejak abad ke-19 saat Mary Shelley menuliskan novel Frankenstein.
Ketika itu dokter Frankenstein mengajukan pertanyaan filosofis tentang moral. ”Apakah aku berhak, demi keuntungan pribadiku, mendatangkan bencana kutukan bergenerasi-generasi tanpa akhir?”
Akankah Golden Rule berlaku pada nurani kita, manusia bertanya yang haus akan jawaban terdekat? ”Perlakukan orang lain seperti engkau ingin diperlakukan; perlakukan setiap orang sebagai individu, bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir.”
Sementara itu, penemuan Watson dan Crick telah memicu kemajuan-kemajuan lain di bidang bioteknologi. Bioteknologi yang semula terbatas sebagai sarana terapi dan pengobatan berbasis gen telah memasuki era baru. Era yang mendekati jawaban yang selangkah lebih maju tentang penciptaan; meski masih berupa kopi dari yang sudah ada.
Dengan kecanggihan bioteknologi, suatu kali akan dimungkinkan seseorang ”menciptakan” makhluk baru dengan memilih warna mata, warna rambut, dan warna kulit, serta berbagai ciri khas fisik lainnya.
Kemajuan kloning
Manusia senantiasa lemah terhadap keinginan dirinya sendiri untuk mendekati jawaban tentang eksistensinya.
Penemuan Charles Darwin setelah melakukan pengamatan di Galapagos yang melahirkan Teori Evolusi semula ditentang keras banyak kelompok, terutama pihak gereja karena teori ini dituding sebagai anti-Kristen, karena bertentangan dengan ide penciptaan (genesis).
Toh, pada tahun 1996, Paus Yohannes Paulus II telah membuka pintu penerimaan pada teori tersebut meski tidak secara eksplisit menyebutkan nama Charles Darwin (Tiras, 14/11/96).
Para ilmuwan memiliki alasan masing-masing dalam mengembangkan teknologi kloning. Semua sebenarnya bertujuan pada pasar, yaitu manusia. Ketika manusia ingin hidup sehat, embrio atau manusia hasil kloning bisa saja difungsikan sebagai bank donor organ tubuh, atau ingin menciptakan individu unggul. Alasan yang dibungkus dengan moral yang lebih tinggi, yaitu seperti yang dikemukakan ilmuwan Hwang Woo-suk dari Korea’s Seoul National University.
”Tujuan kami melakukan kloning bukan untuk mengkloning manusia, melainkan untuk lebih memahami penyebab penyakit,” ujarnya dalam jumpa pers Asosiasi Amerika untuk Kemajuan Ilmu Pengetahuan di Seattle, pada suatu hari di bulan Februari tahun 2004.
Sebelumnya, kloning yang tercatat sukses adalah kloning seekor domba yang lalu diberi nama Dolly. Dolly dikloning dari sel dewasa dan ternyata bisa melahirkan domba yang kembar identik dengan induknya.
Selanjutnya, tahun 2001, tim peneliti dari Texas A&M University, AS, berhasil menciptakan kloning seekor kucing yang dinamai CC—kependekan dari Copy Cat.
Tahun 2005, kembali Hwang bersama timnya mengumumkan keberhasilan mereka melakukan kloning pada anjing. Anjing yang dinamai Snuppy ini menambah deretan sukses kloning yang dilakukan pada hewan. Setelah Dolly, berturut-turut sukses kloning tercatat pada eksperimen terhadap babi, tikus, lembu, kambing, kelinci, dan mule (bagal, sejenis keledai).
Kekhawatiran yang menggantung kini adalah, kapankah batas etika dan moral itu akan semakin jauh dari moral Kantian? Dari Golden Rule?
Sejarah telah berbicara banyak. Ketika manusia bergerak dengan cepat dan tergesa, maka batas moral pun tergeser secara perlahan dan sedemikian halusnya hingga mungkin kita tiba-tiba akan terkejut ketika bangun di suatu pagi di abad ke-22: Ada aku tidur di sampingku.... Aku adalah keabadian... (akankah?).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar