Oleh Denny Siregar
Dulu aku begitu berambisi.
Semua ukuranku adalah materi. Aku ingin diukur dan selalu mengukur orang lain. Aku menjadi penilai dan selalu ingin dinilai orang lain. Hanya supaya dihargai, aku memenuhi tubuhku dengan semua aksesoris duniawi. Aku mabuk dan berada dalam kondisi tidak sadar diri.
Semua ukuranku adalah materi. Aku ingin diukur dan selalu mengukur orang lain. Aku menjadi penilai dan selalu ingin dinilai orang lain. Hanya supaya dihargai, aku memenuhi tubuhku dengan semua aksesoris duniawi. Aku mabuk dan berada dalam kondisi tidak sadar diri.
Ada saat aku begitu muak dengan semua yang kumiliki. Tapi aku takut ketika semua itu berkurang. Aku mempertahankannya dengan membabi-buta, jika perlu dengan menghalalkan segala cara.
Sampai pada satu titik semua berhala itu dirampas. Apa yang kukumpulkan
belasan tahun lamanya, habis sekejap. Aku berada pada ruang kosong.
Rasanya waktu sedang berhenti..
Aku berteriak, menangis, memaki sampai harus melacurkan diri meminta
pertolongan dari sisa-sisa pertemanan yang kumiliki. Mereka akhirnya
jenuh dan menjauh meninggalkan aku sendiri.
Seperti perahu ditengah lautan, aku perlahan-lahan tenggelam. Rasanya dada begitu sesak karena tekanan. Telingaku sakit mendengar hinaan. Tanganku menggapai-gapai meminta pertolongan. Panik, tapi tidak ada yang lewat sepanjang mata memandang. Aku tahu, mereka bosan.
Semakin berada di kedalaman, aku beradaptasi dengan situasi. Semua organ
tubuhku yang tadi mati, kembali berfungsi. Mataku yang awalnya sulit
menerima pekat mulai menangkap gambar-gambar, pertanyaan-pertanyaan yang
terpendam yang memenuhi akal.
Mengikuti nasihat temanku, aku mencoba menterjemahkan semua gambar
melalui nasihat Imam Ali, salah satu manusia bijak yang sangat kukagumi.
Menakjubkan, ternyata gambar-gambar itu adalah kunci-kunci kehidupan.
Kupelajari satu persatu, kutuliskan dalam setiap penaku, mencoba
memahami,, meski kadang salah tetapi setidaknya sudah membentuk jawaban
dari semua yang kugelisahkan.
Semakin dalam aku tenggelam, seharusnya dadaku semakin sesak karena tekanan. Tetapi tidak, aku malah asyik menterjemahkan banyak pesan berupa mutiara-mutiara yang bersinar dalam kegelapan. Kutuliskan semua satu persatu, sebagai bagian dari pembelajaran diri.
Perlahan aku paham. Tuhan menarikku ke dasar kesulitan supaya aku mengerti. Tuhan membantuku mengupas diriku yang sudah lama hilang. Aku melawan sifat-sifat hewani yang dulu menguasai hampir seluruh jiwaku. Betapa indah karyaNya dan baru bisa kudapatkan ketika berada di kedalaman.
Tiba-tiba aku ditarik keluar, kembali menuju permukaan. Rupanya
pelajaranku sudah selesai. Dan tuntutan kepada diriku adalah mulai
berbagi. Dan sebagian kecil kutuangkan dalam cerita "Tuhan dalam
secangkir kopi...".
Entah kenapa, aku bosan diatas sini. Mungkin aku belum menemukan keindahan seperti yang pernah kualami. Aku rindu kedalaman itu lagi, menyaksikan mahakaryaNya di tempat yang sebagian besar orang merasa ngeri.
Secangkir kopi kuseruput malam ini. Tetap nikmat tetapi nilainya sudah
jauh berkurang. Aku mulai gundah, ketika sifat-sifat hewan itu mencoba
menguasai diriku lagi. Ah, sulitnya bertarung di atas sini...
Mungkin ini saatnya aku kembali bertemu lagi dengan Imam Ali. "Taklukkan
keinginan penuh nafsumu dan kebijaksanaanmu akan disempurnakan.." Imam
Ali as.
Tidak pernah sedikitpun kuragukan nasihatnya yang maknanya begitu dalam....
Tidak pernah sedikitpun kuragukan nasihatnya yang maknanya begitu dalam....
Sumber:dennysiregar.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar