Jumat, November 11, 2016

Ketika Teknologi Mengubah Gaya Hidup hingga Pola Edukasi


Oleh: DR.dr.Tan Shot Yen,M.hum.

Bunga Kehidupan - Jaman saya masuk Taman Kanak-kanak, bahkan sebelum itu, permainan sebatas hanya gerak fisik yang dirangkai dengan nyanyian, atau paling mentok jika duduk bersimpuh pun berupa permainan bekel – yang kini saya pahami sebagai jurus jitu rangsangan sinkronisasi gerak tangan dan mata yang memacu aktivitas otak.

Melihat gawai dan aneka permainan anak sekarang, saya kerap terpana norak. Nyanyian atau lagu tidak perlu keluar dari mulut si anak, karena mesin permainannya lah yang bernyanyi.

Ketika anak mulai gelisah berkeliaran dan melakukan berbagai stimulasi fisik dari memanjat hingga merobek halaman majalah, orangtuanya malah menyuruhnya duduk manis dan ia dibuat sibuk oleh gawai pinjaman ibunya.

Gawai yang sarat permainan elektronik atau gambar animasi kartun beresolusi tinggi dengan cahaya mencolok mata.

Saat teknologi belum seperti hari ini, orangtua mau tidak mau harus banyak bicara dan mencari tahu demi anaknya yang terus bertanya.

Komunikasi kontak mata dan bahasa tubuh yang langsung terjadi di depan mata, mengharuskan norma dan kesantunan yang masih berjalan seiring sambil pesan verbal disampaikan.

Tanpa disadari, edukasi tak tertulis terus berjalan dari hari ke hari. Edukasi tak tertulis belakangan saya sadari dengan istilah ‘soft skills’ yang merupakan kunci berbagai istilah kecerdasan di luar ‘kecerdasan intelegensia’ yang favorit itu.

Edukasi tak tertulis bukan hanya soal keterampilan berhubungan dengan sesama manusia, tetapi juga kemampuan menjalani banyak fase kehidupan yang tak mungkin tergantikan oleh teknologi.

Sebut saja tentang komitmen dan disiplin hidup sehat, tangguhnya mental untuk menjangkau hal-hal yang lebih besar, seperti peribahasa ‘Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian’.



Cara mudah, hasil ekspres

Oh, sekarang semuanya terbalik. Kalau mau tekanan darah, Kolesterol, gula darah bagus, minum obat. Hasilnya ekspres.

Punya motor atau mobil buat nampang? Cukup dengan uang muka seadanya, besok bawa pulang. Bayar urusan belakang – kan bisa kredit.

Tidak heran hampir semua pasien lebih suka bertanya,”Bagaimana menghilangkan nyeri lutut?”, “Bagaimana agar cepat kurus?”, kurang lebih sama seperti ABG yang bertanya,”Bagaimana supaya cepat lulus kuliah?”

Pertanyaan-pertanyaan ajaib yang biasanya membuat kedua alis saya bertemu di tengah sambil terperangah menatap takjub.

Sementara yang bertanya semakin bingung, seakan tak ada yang salah dengan tubuh besar menindas lutut, tak ada yang salah dari satu gelas tinggi es kopi dengan krim karamel, begitupun si ABG yang bertanya basa-basi nyatanya sibuk dengan unduhan komik baru di gawainya sambil sesekali mengecek jejaring sosial media.

Jujur, sangat ruwet dan kompleks pembenahan semua kegaduhan yang terjadi di negeri ini. Dalam waktu singkat, seakan semua orang pemegang gawai dan penonton televisi saling terhubung dan ‘terisi’ oleh berbagai informasi mulai dari urusan kericuhan politik, viral pornografi, resep jitu membuka sumbatan pembuluh jantung tanpa perlu ke dokter, hingga gerai makanan yang sedang diskon gila-gilaan dan gegernya artis yang baru cerai.

Tontonan tanpa tuntunan merupakan malapetaka besar. Tuntunan adalah edukasi. Bukan cuma kecerdasan intelegensia. Tapi juga asahan soft skills yang membuat kearifan dan pikiran bijak muncul sejak dini.

Kearifan dan pikiran bijak mampu membedakan mana lelucon konyol lutut sembuh dengan rebusan dedaunan sementara tubuh masih tambun, mana ujaran tanpa kepatutan yang tak perlu diteruskan ke orang lain, kapan saatnya membatasi diri untuk tidak tercebur dalam wacana di luar kompetensi dan bagaimana meningkatkan kepercayaan publik tanpa perlu menjatuhkan orang lain.

Edukasi yang membentuk karakter sebagian besar bukan dari buku pelajaran dan tak kenal rentang waktu berapa lama. Ujiannya pun tak pernah tertulis.

Manusia belajar setiap saat bahkan hingga ajal, ujiannya terjadi di saat-saat ketika muncul pilihan bertindak dan bersikap.


Paparan teknologi dan kesalahan didik

Kearifan dan pikiran bijak yang terasah sejak dini tidak akan memunculkan karakter impulsif, itu sudah pasti. Sementara teknologi justru memacu hidup impulsif dan praktis. Teknologi menjanjikan kecepatan, kepraktisan, ketepatan alias akurasi dan efisiensi.

Betapa ngerinya atas nama efisiensi dan kepraktisan bila seorang ibu muda tidak diasah untuk merawat anak sesuai kodrat, mulai dari menyusui dengan sabar dan penuh kasih sayang hingga membuat makanannya sendiri.

Melainkan terpapar teknologi yang menjanjikan akurasi komposisi ‘bubuk pangan’ kemasan bebas bakteri – seakan-akan semua kebutuhan kodrati anaknya sudah pasti hanya seperti yang tercantum dalam kemasan.

Sementara ia bebas bekerja dan tetap bersenang-senang. Keterasingan komunikasi, membuat jarak semakin lebar antara orangtua dan anak.

Diskusi lewat teks membuat anak sambil tiduran mengangkat kaki menggenggam gawai seakan itulah gaya ‘bicaranya’ dengan orang tua. Kesalahan didik, ‘gagal paham’ edukasi manusia membuahkan malapetaka di hari depan yang amat katastropik.

Malapetaka bagi suatu bangsa, belum tentu demikian bagi pihak lain. Bisa jadi di sebelah sana ada yang sedang menyeringai puas dengan taktik penjajahan gaya baru yang sedang berjalan.

Propaganda secara teknologi telah sukses memporakporandakan asupan gizi bangsa ini, tayangan hidup mewah bergelimang hedonisme membutakan anak mudanya untuk bekerja hanya mengejar harta, menjual semua kekayaan negerinya yang menjadi incaran bangsa lain tanpa menikmatinya.

Lebih kacaunya lagi, ditukar dengan dagangan negeri lain yang hanya ‘enak di lidah’ tapi merusak di kemudian hari.

Dan ketika semua sudah amburadul terpecah belah, perang candu mulai mengintai diam-diam persis seperti kisah sejarah berulang di negri orang.

Semoga kita masih diberi pikiran jernih untuk melihat segala sesuatunya dengan terang budi. Edukasi yang bukan gagal paham.
Editor     : Bestari Kumala Dewi
sumber   : kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar